MENCINTAI SEPI


Seorang wanita muda bertubuh ramping dengan wajah tirus, rambut panjang bergelombang, dan bola mata berwarna coklat hazel sedang mempresentasikan mega proyek pembangunan hotel mewah berlantai dua puluh yang nantinya akan di bangun pada pusat ibu kota, wanita muda itu berbicara dengan intonasi tegas sembari memainkan lengannya pada rapat formal yang dihadiri klien-klien penting dari luar negeri. Ia optimis mega proyek ini akan berjalan dengan lancar. Setelah rapat berakhir, banyak karyawan mengucapkan selamat atas keberhasilannya menyampaikan ide-idenya dalam rapat tadi. Belum lagi ia harus mengikuti beberapa pertemuan penting di beberapa negara untuk program-program besar lainnya. Sampai suatu hari ibunya menelpon. “Mau sampai kapan kamu sibuk terus, Nak?” Ibunya bertanya dengan nada mendesak.

“Ayolah Bu, bukankah kita sudah membahas ini puluhan kali dan jawaban saya tetap sama Bu, saya belum ingin menikah,” balas wanita muda itu sembari terus membolak-balik halaman kertas yang kemudian ia tanda tangani satu per satu.

“Kamu jangan buat keluarga besar kita kecewa sayang, tinggal kamu saja yang belum menikah.”

“Menikah bukan ajang lomba marathon, Bu.” Ia mulai kesal dengan kebiasaan ibunya yang selalu menuntutnya agar cepat menikah karena rasa malunya terhadap keluarga besar yang terus menanyakan perihal anaknya yang belum menikah. Tanpa aba-aba, ibunya langsung memutus sambungan.
Si wanita muda itu sudah hafal dengan kebiasaan ibunya yang ini, ia tak memerdulikan percakapan tadi dan melanjutkan pekerjaannya.

“Ibumu benar Bian, kamu memang harus menikah. Kamu sudah punya segalanya, apalagi yang membuatmu ragu untuk menikah? Gaya hidup seperti ini akan membunuhmu secara perlahan.” Tiba-tiba sebuah suara yang terdengar dari belakang sontak membuatnya berhenti menulis, seperti biasa teman baiknya itupun selalu mengingatkannya.

Bian memutar bola matanya dengan malas. “Aku bisa bebas dan tidak terikat dengan lelaki manapun membuatku lebih nyaman menjalani hidup, lagipula sibuk ialah prioritas hidupku, kau tahu.”

Teman baiknya itu hanya geleng-geleng kepala, ia tak menyangka Bian yang selalu ramah itu memiliki hati yang bahkan lebih keras dari batu yang paling keras perihal memilih pasangan. Ia berlalu meninggalkan Bian yang kembali berkutat dengan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.

Setelah teman baiknya berlalu, Bian berkata dalam hati. “Maafkan aku, tapi aku terlalu mencintai sepi, bagiku sepi ialah teman hidup yang terbaik.”



Komentar

Postingan Populer