BATAS
Mirna terpaku di sudut tembok sembari beradu pandangan dengan Ayahnya. Ayahnya menatap Mirna tajam seolah telah mempersiapkan amunisi jika Mirna bersuara lagi. Beberapa menit yang lalu mereka berdua sempat beradu mulut menyangkut keputusan Ayahnya yang menginginkan Mirna melanjutkan studinya di luar negeri. Beberapa minggu setelah kelulusannya, Mirna telah mempersiapkan segala hal untuk mendaftar di kampus yang selama ini ia idam-idamkan mulai dari berkas-berkas persyaratan sampai pada pengisian formulir pendaftarannya. Setelah itu Mirna sampaikan kepada Ayahnya untuk meminta persetujuannya dan reaksi Ayahnya sukses membuat kertas-kertas itu berserakan di lantai. Hati Mirna hancur lebur melihat apa yang baru saja terjadi, ia tak percaya Ayahnya memarahinya hanya karena keinginan berkuliah di jurusan Satra.
“Kamu jangan membantah Ayah. Dari kamu bangun sampai tidur lagi, Ayah yang atur.”
Lagi-lagi kata-kata pamungkas itu keluar dari mulut Ayahnya membuat Mirna mulai bosan. Dari kecil sampai sekarang Mirna selalu ditekan untuk mengikuti kemauan Ayahnya, hampir-hampir dia sendiri tak punya hak untuk menyampaikan yang menurutnya benar. Karena itu keseharian Mirna terkesan lebih tertutup, dia lebih memilih melampiaskan kekesalan, kesedihan bahkan kemarahannya lewat pena dan kertas-kertas kosong.
“Ayah… jadi penulis itu cita-citaku dari dulu,” Mirna membela diri, mencoba memberi pengertian.
“Hentikan omong kosongmu itu. Kamu pikir jadi penulis bisa jadi jaminan hidupmu nanti. ” Suara Ayahnya semakin meniggi, tubuhnya hanya beberapa meter dari tempat Mirna berdiri. “Kamu itu masih ingusan, tahu apa kamu soal hidup.”
“Jika ayah memahamiku, Ayah akan sadar kalau aku lebih memaknai hidup dibanding Ayah.”
Ayahnya tiba-tiba bangkit dan menampar pipi Mirna membuatnya hampir jatuh terduduk.
“Hah... jadi hanya ini yang ayah bisa? Menggunakan hak perogatif Ayah sebagai orang tua untuk bertidak semaunya.” Mirna tertawa pahit, ia mengusap pelan pipinya yang terasa panas. “Bahkan Ayah lebih mirip diktator.”
“Kamu mulai kurang ajar ya, belajar dimana?”
“Inilah hasil didikan Ayah.”
Ayahnya kembali menatap tajam ke arah Mirna. “Kita lihat sampai dimana pikiran idealismu ini bertahan. Dan jika itu kemauanmu silakan angkat kaki dari rumah ini!”
Mirna menatap kedua mata ayahnya seraya membatin. “Jika ini keputusanmu Ayah, biarlah aku keluar dan berusaha melampaui batasku. Akan kuusahakan segalanya sendiri tanpa harus menangis merengek agar kau datang dan memelukku. Setelah pencapaian itu sampai ke tanganku, aku akan kembali dengan pembuktian. Tak sedikit pun aku membencimu Ayah, cintaku yang seperti laut ini bisa menenggelamkanmu sampai dirimu sendiri merasa bahagia di kedalaman.”
Mirna memungut berkas-berkasnya kemudian beranjak dari hadapan Ayahnya menaiki tangga menuju kamarnya. Selang beberapa menit ia turun bersama koper dan ransel di bahunya. Ayahnya hanya menatapnya dingin.
“Rupanya tamparan tadi tidak melunakkan kepala batumu itu Mirna.” Ayahnya berkata saat Mirna sampai di depan pintu.
Mirna menghentikan langkahnya. “Bagiku tamparan itu memperjelas keputusan ayah untuk mengusirku.” Ia berjalan keluar menenteng kopernya tanpa berbalik untuk menatap wajah Ayahnya.
Setelah Mirna menghilang di ujung jalan, Ayahnya menatap lurus ke arah jalanan yang lengang. “Hati-hati Nak, semoga kebaikan selalu menyertai jalanmu. Doa Ayah bersamamu.”
- Selesai -
Komentar
Posting Komentar